teks jln

selamat datang di website resmi desa banjar kecamatan banjar

Rabu, 19 Oktober 2011

sejarah singkat dsa banjar

   Dahulu kala, pada saat Kerajaan Sweca Pura-Gelgel, Klungkung, di perintah oleh “Ida Dalem” beliau mengangkat  “Danghyang Wiraga Sandhi” sebagai Purorita (penasehat spiritual). Danghyang Wiraga Sandhi  adalah seorang Pandita yang sangat menguasai ajaran Agama Hindu, sehingga Kerajaan Sweca Pura mengalami jaman keemasan, tentram, damai, dan sejahtera. Begitulah Kerajaan Swecapura menjadi agung, berkat kepemimpinan yang bisa menselaraskan kepentingan lahir dan batin. Karena sudah lama beliau (Danghyang Wiraga Sandhi tinggal di puri Gelgel)(swecapura), lalu Beliau bermaksud pulang kembali ke Jawa (karena Beliau adalah seorang Brahmana asal Jawa). Maka atas seijin sang Raja, berangkatlah Beliau dengan berjalan kaki diiringkan oleh ke 5 Putra Beliau yang sudah menjadi Pandita yang bernama:
  1. Ida Pedanda Sakti Bukian
  2. Ida Pedanda Sakti Ngurah Pemade
  3. Ida Pedanda Sakti Kemenuh
  4. Ida Pedanda Sakti Bukit
  5. Ida Pedanda Sakti Katandan
   Dari Klungkung Beliau Berjalan kearah Barat laut di satu Desa yang bernama Desa “Taru Pinghe” (Desa Kayu Putih Sekarang), dalam wilayah kekuasaan Raja Ki Barak Panji – Daerah Buleleng, Beliau dihadang oleh Warga Pasek Gobleg, diharapkan agar Beliau mengurungkan niatnya pulang ke Jawa, dan dimohon agar rela tinggal di Taru Pinge sebagai Pandita, menuntun penduduk dalam mengaplikasikan ajaran agama serta sebagai pemimpin segala bentuk upacara keagamaan. Akhirnya beliau berkenan tinggal disana setelah mendapat restu dari Ki Barak Panji Sakti, sebagai penguasa Daerah Buleleng. Lalu Danghyang Wiraga Sandhi di buatkan Pasraman di Samong (Taru Pinge), dan diberi kekuasaan sebagai Pandita oleh Ki Barak Panji Sakti dengan batas dari Kalibukbuk sampai dengan Gilimanuk. Demikianlah Beliau dengan kepandaian dan kearifan Beliau dapat menciptakan kondisi yang mantap dalam beragama dan bernegara
   Entah sudah berapa lama Beliau tinggal di Kayu Putih suatu saat anak Beliau yang nomor 2 yang bernama “Ida Pedanda Sakti Ngurah Pemada”, pergi bercengkrama di iringkan oleh murid-murid beliau kea rah utara dari Taru Pinge. Sampai di satu dataran tinggi, beliau merasa tercengang, tatkala melihat kebawah dataran itu ada satu tempat yang penuh ditumbuhi alang-alang sampai ketepi laut. Yang lebih aneh lagi di tengah alang-alang itu asap tipis mengepul tak putus-putusnya. Sehingga dari kekaguman beliau, timbul hasrat untuk mendatangi tempat iti. Beliaupun bersama pengiringnya langsung berjalan ke tempat itu. Sesampai disana, di ketemukan asap itu mengepul keluar dari dalam tanah dan dijaga oleh dua (2) ekor srigala (anjing) yang berbulu hitam dan putih. Melalui perantara kekuatan bhatin Beliau, maka kedua srigala penjaga asap tempat itu rela pergi, seolah-olah mengijinkan beliau mendekati tempat itu.
   Lagi-lagi tumbuh keheranan Beliau, karena ketidak tahuan nama tempat itu, maka Beliau berkeinginan memberikan nama. Setelah Beliau merenung dan mengingat situasi tempat itu, akhirnya di berikanlah nama “Janggala Kusa” (Janggala = tempat, Kusa = alang-alang). Dalam bahasa Bali di sebut Banjar Ambengan. Setelah mendapat ijin dari ayah Beliau (Danghyang Wiraga Sandhi) akhirnya Ida Pedanda Sakti Ngurah Pemada tinggal /membangun Pasraman di Janggala Kusa beserta pengiring-pengiringnya (pengikuitnya). Karena ketenaran Beliau, lama kelamaan banyaqk orang yang datang ke Janggala Kusa minta menjadi siswa Beliau. Sermakin hari semakin banyak orang yang datang dan langsung membabat hutan alang-alang itu, kemudian membangun kubu-kubuan (rumah) berjajar rapi dari arah utara ke selatan yang dalam bahasa bali disebut” Mabanjaran “. Karena itu akhirnya nama Janggala Kusa tenggelam, berganti dengan nama “Desa Banjar”.
   Tahun  1868 Desa Banjar ini kembali mengemika setelah Belanda menguasai Buleleng dengan politik “Tawan Karang” saat itu I Gusti Ketut Jelantik di angkat menjadi “Regen” oleh kompeni (Belanda). Distrik Banjar yang dipegang oleh Punggawa Ida Made Rai, sangat-sangat tidak setuju. Oleh karena itu, Ida Made Rai selaku Punggawa Distrik Banjar berontak melawan kekuasaan kompeni. Belanda tidak tinggal diam dengan bantuan I Gusti Ketut Jelantik Regen Buleleng, Distrik Banjar di gempur habis-habisan.
   16 September 1868 terjadi pertempuran sengit di Banjar Corot Desa Cempaga, Serdadu Belanda dipimpin oleh Lwig Stegman dan Letnan Nijs, sedangkan bantuan I Gusti Ketut Jelantik dipimpin oleh patih Beliau yang bernama I Ketut Liarta. Banjar Sendiri dipimpin oleh Ida Made Rai bersama adiknya Ida Nyoman Ngurah, keberuntungan ada di pihak Banjar. Belanda kalah, Kapten Lwig Stegman dan Letnan Nijs gugur diikuti kurang lebih 100 serdadu Belanda
   Sebelum Belanda menyerbu Banjar Ida Made Rai sempat diangkat oleh rakyat Banjar untuk menjadi Resi di Banjar yang didukung oleh Raja Bangli dan Desa-desa tetangga seperti : Kalianget, Tangguwisia, Patemon, Kayu Putih. Kalau serbuan pertama dari arah timur (dari kota Singaraja), maka kedua kalinya Banjar diserbu dari arah Barat (dari Pengastulan) oleh Belanda dibantu oleh L Wayat Tragi (Perbekel Pengastulan)
   Pada tanggal 3 Oktoben 1868 terjadi perlawanan yang sangat gigih pula oleh rakyat Banjar, dari Belanda kembali dapat dipukul mundur. Dan pada saat itulah Banjar berubah nama menjadi “sura Magada” (sura = berani, Magada = berperang). Karena kegagalan Belanda sampai kedua kalinya inilah akhirnya Kompeni minta bantuan kepada Gubernur jendral di Batavia. Atas bantuan Gubernur Jendral Batavia serdadu Bali kembali menggempur Desa Banjar di bawah pimpinan Kolonel De Braban dan Mayor Bloom. Penyerbuan dimulai dari arah timur melalui Temukus dan Dencarik langsung ke Desa Banjar. Satu persatu Banjar gugur dan akhirnya Desa Banjar hancur. Ida Made Rai ditangkap di Jati Luwih Tabanan bersama 5 orang pengikutnya dan diadili di Batavia dan menjalani hukuman seumur hidup di buang ke Bandung dan akhirnya Beliau meninggal disana.
Petikan Sejarah “ Bali Abad  XIX
A.A. Gde Agung